Resensi "Atambua 39o C"

Melihat Kembali Sejarah Bangsa Lewat Atambua

Secara tegas Atambua 39o C memperkenalkan dirinya sebagai sebuah pernyataan politik. Di awal film yang disutradarai Riri Riza ini tertulis: “Atambua, 13 tahun setelah referendum.” Ini bukan potret sebuah kota eksotis yang dikunjungi sekelompok turis berkedok pembuat film. Ini adalah bentuk refleksi sejarah bangsa.

Pendirian pembuat film disuarakan oleh Ronaldo (Petrus Beyleto), 47 tahun, mantan pejuang milisi pro-integrasi yang kini bekerja sebagai supir bus antarkota. Anehnya, sepanjang film, penonton lebih sering mendapati beliau mabuk-mabukan, pulang larut malam dalam keadaan teler, muntah, lalu tidur sampai malam lagi. Kenapa? Usut punya usut, beliau tercekik oleh kekecewaan masa lampau. “Timor Leste hanya akan bisa berkembang kalau bergabung dengan Indonesia,” tukasnya dalam sebuah sesi peminuman, sebuah pendapat yang tak disetujui teman minumnya. Terjadilah pertengkaran dan Ronaldo masuk penjara.




Motif dan Konsekuensi

Adegan ini menjadi penting bagi keseluruhan film. Pasalnya, cerita Atambua 39o C berfokus pada penggambaran konsekuensi pasca referendum, harga apa saja yang harus dibayar masyarakat atas peristiwa berdarah tersebut.

Konsekuensi yang paling kentara adalah perpecahan keluarga yang dialami Joao (Gudino Soares) dan Nikia (Putri Moruk). Joao adalah anak Ronaldo, sementara Nikia adalah teman masa kecil Joao. Keduanya memilih untuk menolak lupa. Joao rutin mendengarkan kaset yang berisikan rekaman suara ibunya, yang memohon Ronaldo untuk membawa anaknya ke Liquica, tempat ibu Joao tinggal sekarang. Orang tua Joao berpisah ketika Timor Leste lepas dari Indonesia, dan sampai sekarang Joao hanya bisa mengingat “suara dan wangi payudaranya” saja. Nikia sendiri memilih pulang sebentar ke Atambua untuk menguburkan kakeknya secara layak. Ia merasa ada duka yang belum terselesaikan. Dalam jihad melawan amnesia ini, Joao dan Nikia bersua.

Rekaman kaset menjadi motif penting yang berulang sepanjang Atambua 39C. Penting karena ada banyak dimensi yang disasar pembuat film. Di satu sisi, kaset menjadi penanda historis dari cerita film. Kaset merupakan medium komunikasi yang lazim dipakai oleh sanak saudara yang terpisah di Timor Leste dan Indonesia kala peristiwa separasi terjadi. Biasanya kaset dititipkan pada relawan yang bolak-balik antar dua negara, untuk kemudian diantar pada orang di negeri sebelah. Milisi yang menjaga di perbatasan cenderung tidak menyita kaset, oleh karena itu medium ini yang sering dipakai untuk berkomunikasi.

Di sisi lain, kaset menjelaskan berbagai trauma yang coba dilawan masing-masing tokoh. Atambua 39o C bisa dibilang adalah film yang hening. Konflik dilakonkan nyaris tanpa dialog, sementara visual film lebih banyak diserahkan pada rutinitas para tokoh, mulai dari Joao yang hampir tak bicara dengan bapaknya hingga romansa antara Joao dan Nikia yang tak kalah heningnya. Kalaupun ada dialog yang terjadi, tujuannya lebih pada luapan emosi ketimbang penanaman informasi cerita. Mayoritas dialog dalam Atambua 39o C diisi oleh pertengkaran atau pernyataan tentang tanah Timor Leste. Kaset menjadi semacam bilik pengakuan, di mana tokoh-tokoh ini bisa membuka rahasia terburuk mereka, dan pembuat film secara strategis menempatkan rekaman suara mereka menjelang akhir film.

Strategi penuturan macam ini boleh jadi terasa verbal, namun sangat beralasan dalam konteks film. Kaset sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari dan tokoh-tokoh Atambua 39o C merupakan orang-orang kecewa yang teralienasi dari sesamanya. Ketika banyak perasaan-perasaan yang tak terbahasakan dan tak mungkin dibagi, ke mana lagi mereka bisa jujur kalau bukan pada diri sendiri? Kaset memungkinkan mereka untuk menghadapi kembali dan membebaskan diri dari kenangan-kenangan buruk.

Kaset juga yang menjadi jendela kecil untuk mengintip kehidupan di Atambua. Salah satu rutinitas Joao yang ditampilkan pembuat film adalah mengganti baterai walkman dengan baterai-baterai yang ia jemur di atap rumahnya. Tersirat konsekuensi-konsekuensi lainnya pasca referendum, yakni kemiskinan dan ketertinggalan yang dialami masyarakat Atambua. Listrik belum masuk ke seluruh wilayah kota. Barang sekecil baterai menjadi begitu mahal. Pernyataan Ronaldo akan nasib Timor Leste terasa kian bergema.



Sentimentil dan Steril

Konsistensi pembuat film menerapkan motif ceritanya patut diacungi jempol di sini. Motif begitu lekat pada rutinitas tokoh-tokohnya, sehingga dimensi personal dalam Joan, Ronaldo, dan Nikia terbangun dengan baik dalam sebuah struktur cerita yang solid. Sayangnya desain cerita Atambua 39o C teramat sentimentil. Pembuat film begitu menekankan trauma dan kehilangan ketiga protagonisnya, sehingga film terasa steril. Ketiga protagonis terisolir dalam dunia kecil mereka, sementara konteks sosial di sekitar mereka kurang terjelajahi.

Betul, ada sejumlah adegan rutinitas ketiga protagonis yang menunjukkan ketertinggalan Atambua. Selain kebiasaan Joao menjemur baterai di atap rumahnya, kita juga mendapati Joao menonton video porno di rumah temannya. Ada satu shot dalam rumah teman Joao tersebut yang menampilkan gambar uskup ditutupi kertas koran, seakan-akan menutup gambar uskup berarti juga menutup mata Tuhan. Ini menjadi penanda yang subtil akan dominannya peran gereja Katolik dalam kehidupan sehari-hari di Atambua. Hal ini diperkuat dengan rekaman ritual jalan salib di jalanan kota, yang kemudian disambung dengan adegan Nikia membawa salib untuk makam kakeknya. Riri Riza dan kawan-kawan sudah meriset subyeknya dengan baik, sehingga detail-detail kultural ini bisa terasa natural dalam cerita film.

Sayangnya, detail-detail kultural ini tidak dibangun lebih lanjut. Visual film kemudian lebih banyak dipenuhi pemandangan alam dan gambar-gambar yang tidak jelas fungsinya, seperti shot kantong plastik yang terbang ditiup angin. Ruang-ruang naratif ini rasa-rasanya bisa diisi dengan eksplorasi lebih lanjut tentang masyarakat Atambua. Salah satunya adalah perasaan para pengungsi lainnya tentang independensi Timor Leste dari Indonesia. Kita tahu Joao dan Nikia mengalami kehilangan dalam keluarga mereka, tapi bagaimana dengan para pengungsi yang lain?

Kekayaan representasi masayarakat Atambua menjadi penting karena faktanya tidak semua orang mengungsi karena alasan ideologis. Ada juga yang mengungsi karena kebutuhan, seperti sejumlah warga Dili yang rumahnya luluh lantak akibat kota itu dibumihanguskan TNI. Bagaimana dengan mereka? Pastilah mereka juga punya pendapatnya sendiri tentang independensi Timor Leste.

Kalaupun mau setia pada perkara ideologis, kenapa tidak ada satupun pandangan kontradiktif terhadap sikap pro-integrasi Ronaldo? Adegan pertengkaran Ronaldo boleh jadi memuat pertentangan di dalamnya, namun adegan tersebut lebih terlihat seperti kekacauan semata sipil ketimbang dialog antarideologi. Tak ada pernyataan politis di sana kecuali milik Ronaldo seorang.

Sterilnya narasi Atambua 39o C menghadirkan konsekuensi ganda. Kebobrokan sosial di kalangan pengungsi macam judi, mabuk-mabukan, dan menonton video porno terasa seperti potret dekadensi yang tak berakar. Selain itu, pernyataan Ronaldo akan nasib Timor Leste yang lebih baik di tangan Indonesia terasa seperti teriakan nyaring di ruang hampa. Padahal kita semua tahu kalau kenyataannya tidak sehampa itu. Pertanyaannya: apakah pembuat film sengaja menyederhanakan problematika untuk mendukung pendiriannya? Atau takut untuk menghadapkan pendapatnya dengan realita sebenarnya?

Atambua 39o C adalah film terbaik Riri Riza setelah Eliana, Eliana. Kemasan dan gagasan yang dipakai terasa klop beriringan sehingga menghasilkan penuturan cerita yang terasa utuh. Sayangnya, banyak potensi tak tergarap yang sejatinya dapat membawa Atambua 39o C ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/review/rev509ba732628d0_melihat-kembali-sejarah-bangsa-lewat-atambua#.UNGp7eQUuzw