Resensi "Rayya, Cahaya Di Atas Cahaya"

Perjalanan Metaforik Memahami Dendam

Sebuah road movie—perjalanan dari satu tempat ke tempat lain—mudah tergelincir menjadi film yang kosong. Kekuatannya sangat tergantung pada makna perjalanan tersebut. Bagaimana dalam ruang yang sebagian itu-itu saja dan sebagian lagi terus bergonta-ganti, lapis demi lapis persoalan karakter-karakternya terkupas, setapak demi setapak interaksi (dengan teman dan segala hal yang ditemui) selama perjalanan menguak perspektif baru, dan sedikit demi sedikit kesadaran baru menyelinap menumbuhkan pencerahan. Tanpa itu kita tinggal berharap masih tersaji petualangan visual yang sama sekali baru sekadar buat menghibur mata.

Setelah 22 tahun lalu Garin Nugroho mengejutkan perfilman Indonesia dengan Cinta dalam Sepotong Roti (1990), Viva Westi—kecemplung ke dunia film sebagai pemain dalam film kedua Garin, Surat untuk Bidadari (1992), dan menjadi sutradara pertama kali bersama Garin dalam Serambi (2005)—memperkaya khazanah road movie lokal dengan karya yang bisa dibilang setara dengan "guru"-nya.



Film ini mengisahkan perjalanan penemuan kembali jatidiri Rayya (Titi Sjuman), Diva (dengan "D" besar) yang mempunyai persoalan kepribadian. Penemuan yang, sebagaimana umumnya road movie, terjadi tanpa disengaja atau direncanakan. Pada awalnya Rayya menempuh perjalanan bermobil dari Jakarta ke Bali untuk sesi pemotretan buku biografinya, ditambah sebuah agenda pribadi yang tidak sepenuhnya ia pahami dan sampai film berakhir juga tidak dimengerti penonton, karena ternyata memang sekadar eskapisme dari persoalan hidupnya.

Kebesaran Rayya, menariknya, tidak dibangun di atas stereotipe adegan-adegan kerumunan wartawan, sorot kamera, lampu pijar, dan lain-lain, melainkan melalui serangkaian rapat tim penyusun buku biografi yang sangat terasa menempatkan Sang Diva sebagai aset bernilai tinggi. Selain itu juga dengan penggambaran sindrom atau kontradiksi karakter pesohor: manis di hadapan publik dan menjelma jadi monster mengerikan di lingkungan dalamnya. Pilihan pertama tersebut efektif buat menaik-turunkan tempo film sekaligus menjadikan perjalanan Rayya satu-satunya fokus.

Kompleksitas kepribadian Rayya bukan saja menyulut kejengkelan Kemal (Alex Abbad), fotografer yang di tengah perjalanan diusir pulang, tetapi juga manajer dan tim penyusun buku. Tapi semua tak lebih dari debu di mata Rayya. Hanya Arya (Tio Pakusadewo) yang kemudian bisa melunakkan. Fotografer pengganti itu digambarkan sebagai pekerja tekun dan konservatif yang matang ditempa pengalaman menghadapi berbagai persoalan dan terutama kerusakan keluarganya sendiri dengan seorang anak penyandang autisme. Ia terbiasa membangun interaksi dengan manusia yang dunianya hanya berpusat pada diri sendiri.



Dendam

Perlahan-lahan kebersamaan mereka serta sejumlah pengalaman tak terduga yang terjadi selama perjalanan membuat Rayya lebih terbuka. Di balik topeng monsternya ia ternyata tetap manusia biasa. Pada dasarnya baik, tapi kemudian hatinya terluka dan melahirkan dendam. Hal yang sama terjadi pada Arya. Perbedaannya, Arya menyimpan rapat-rapat dendam itu sebagai miliknya, sementara Rayya meluapkannya sebagai kemarahan pada semua orang. Sejatinya ia sedang marah kepada dirinya sendiri yang lemah.

Film ini dengan cara menarik mengingatkan bahwa semua orang sesungguhnya makhluk baik, namun lemah. Sebuah luka bisa menorehkan rasa sakit tak terperi, lalu menumbuhkan dendam, dan membiakkan kemarahan bahkan kebencian. Padahal orang-orang yang melukai Rayya dan Arya sama baiknya, namun juga sama lemahnya. Bram (Rico Marpaung), kekasih yang mempermainkan cinta Rayya, dan Dea (Lila Azizah), istri yang mengkhianati pernikahan Arya, bukanlah orang jahat. Keduanya hanyalah orang-orang yang sama seperti korbannya: tanpa dimaui melukai pasangannya karena tidak kuasa melawan kelemahan hatinya.

Begitulah, dengan menggunakan banyak metafora dan pelukisan keragaman manusia di negeri ini, mobilitas pemotretan buku biografi itu kemudian menjelma menjadi semacam hijrah spiritual. Sebuah perjalanan berliku menyerap kearifan kehidupan, memahami dendam, membasuh luka, dan berdamai dengan kelemahan diri sendiri.

Penulis skenario Emha Ainun Najib dan Viva Westi tampaknya memang sengaja merangkai dialog-dialog puitis buat membangun dunia rekaan yang metaforik. Pada awalnya mungkin terasa mengganggu, namun setelah terperangkap ke dalamnya kita mulai merasa nyaman. Apalagi Tio Pakusadewo yang menghidupkan karakter Arya dengan sangat terkontrol berhasil menaklukkan kesenjangan bentuk pengucapan tersebut.

Sebaliknya Titi Sjuman terkesan terlampau meledak-ledak dan inkosisten. Tetapi, jika mengingat proses pengambilan gambar yang hampir berurutan tidak seperti di film-film biasa sehingga para pemain relatif lebih mudah menata emosi, rasanya justru itulah interpretasi Titi terhadap karakter Rayya: labil, random, dan tak mampu mengendalikan diri. Inkonsistensi emosi yang sepenuhnya dikendalikan oleh dendam.

"Saya berikrar untuk tidak menangis atau meratap, dan setia menegakkan dendam," ucap Rayya melukiskan kekacauan kondisi kejiwaannya.

Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/review/rev505bba68be6bc_perjalanan-metaforik-memahami-dendam#.UNGteuQUuzw