Resensi "5 cm"

5 cm yang Terlampau Jauh

Mana yang lebih terjal: persahabatan, kecintaan pada negeri sendiri, atau jalur pendakian Semeru? 5 cm seperti kebingungan memilah ketiganya. Adaptasi novel laris Donny Dhirgantoro ini terasa terpotong-potong, tanpa ada bangunan cerita yang berkesinambungan. Alhasil, 5 cm baru sebatas baik sebagai tontonan, sebagai kumpulan gambar yang indah dan mengharukan.



5 cm dibuka dengan perkenalan lima sekawan: Genta (Fedi Nuril), Zafran (Herjunot Ali), Arial (Denny Sumargo), Riani (Raline Shah), dan Ian (Saykoji). Kelimanya merasa jenuh dengan satu sama lain. Genta menyarankan untuk tidak bertemu dulu selama beberapa waktu, dan semuanya setuju. Tiga bulan berlalu. Genta dan Riani sibuk dengan pekerjaannya, Zafran jatuh bangun mendekati Dinda (adik Arial, diperankan Pevita Pearce), Arial malu-malu mendekati gadis incarannya di tempat latihan kebugaran, sementara Ian berjuang keras menyelesaikan skripsinya. Kelimanya bertemu lagi atas panggilan Genta. Ia diam-diam membawa sahabatnya untuk mendaki gunung Mahameru, dengan tujuan mengibarkan sang saka di puncak gunung pada hari kemerdekaan. “Kawan-kawan, dapat salam dari Indonesia,” serunya lantang.

Mari perhatikan kembali sinopsis di atas. Ada cerita-cerita kecil tentang kejenuhan persahabatan, dengan sejumlah selipan kisah-kisah cinta. Lalu muncul sebuah perjalanan naik gunung, yang dilakukan atas semangat nasionalistik yang megah dan menggebu-gebu. Pertanyaannya: di mana hubungannya?

Garis Cerita

Menjadi bumerang sendiri bagi Rizal Mantovani, sang sutradara, ketika ia harus mengepaskan dilema persahabatan, petualangan di gunung, dan wacana nasionalisme dalam sebuah film berdurasi 126 menit. Durasi film memang mencukupi, namun pemanfaatannya tidak tepat guna. 5 cm jadinya malah terlampau jauh dari keteraturan. Terlalu banyak elemen-elemen cerita yang tidak jelas ujung pangkalnya.

Coba lihat Ian. Di awal film, ia dikisahkan sebagai mahasiswa yang jatuh bangun menyelesaikan tugas akhirnya. Ia juga dikisahkan akan lanjut kuliah di luar negeri, di Manchester tepatnya, supaya bisa berdekatan dengan klub bola favoritnya. Tahu-tahu, ketika Semeru sukses ditaklukkan, teman-temannya bilang ke Ian, “Gimana? Indonesia keren juga kan. Lo masih males tinggal di sini?” Sebelumnya, tidak ada informasi perihal keengganan Ian dengan bangsanya sendiri. Sikap ini tiba-tiba muncul pasca klimaks film, seakan-akan untuk mendukung semangat nasionalisme yang kental sepanjang adegan-adegan pendakian Semeru.

Lihat juga Genta. Pertengahan pertama film memperkenalkan dirinya sebagai pengusaha muda, rapi, dan elegan. Tak ada tanda-tanda ia punya hobi naik gunung, senang dengan alam, atau minimal gemar berolahraga (sifat ini malah lebih dekat dengan Arial). Tak ada tanda-tanda juga kalau ia seorang nasionalis akut. Mendadak, di pertengahan film berikutnya, ia begitu gemar menyuarakan cinta negeri sendiri. Mendadak pula ia begitu hapal dengan medan di jalur pendakian Semeru. Dari mana semua ini asalnya?

Betul, cerita membutuhkan perubahan kondisi tokoh. Perubahan menyiratkan adanya konflik yang begitu mendesak, sehingga tidak ada pilihan lain bagi tokoh cerita kecuali mengerahkan usaha lebih untuk mencapai keinginannya. Usaha lebih ini yang menjelaskan kenapa suatu tokoh di akhir cerita tak mungkin sama dengan dirinya di awal cerita. Ia harus melampaui dirinya sendiri agar bisa mencapai keinginannya.

Perubahan yang beralasan adalah perubahan yang berkaitan dengan keinginan si tokoh. Masalahnya, di 5 cm, tidak jelas apa yang sebenarnya para tokohnya inginkan. Ketika di kota, mereka sibuk dengan kerutinan mereka sendiri, sibuk dengan masalah yang mereka temui di lingkungan masing-masing, sibuk dengan cerita cinta masing-masing. Ketika di Semeru menjelang 17 Agustus, mereka mendadak jadi nasionalis, dengan “impian” mengibarkan sang saka di puncak gunung.

Usaha-usaha yang mereka lakukan memang berat. Bayangkan, kebanyakan dari mereka tak punya latar belakang penjelajah alam, tapi tiba-tiba dituntut untuk menaklukkan medan terjal Gunung Semeru. Mereka benar-benar harus melampaui diri mereka sendiri. Kalau tidak, celakalah mereka diterjang longsoran batu. Sialnya, karena tidak jelas apa sebenarnya alasan di balik segala tindakan mereka, sulit jadinya untuk bersimpati dengan jatuh bangun lima sekawan ini. Sulit juga untuk mempercayai pelajaran hidup yang mereka alami. Mereka tak lebih dari seonggok daging mentah: tak punya hasrat dan kesadaran sendiri, hanya mengikuti ke manapun nasib membawa mereka.

Gambar

Satu hal yang bisa dipercaya dari tokoh-tokoh 5 cm adalah klaim mereka tentang keindahan alam negeri kita. Kecakapan teknis film ini patut diacungi jempol. Rizal Mantovani dan kawan-kawan bisa menangkap keindahan padang rumput, hutan, serta danau yang lima sekawan lalui sepanjang pendakian. Satu momen yang cukup asyik adalah saat mereka upacara di puncak Gunung Semeru. Kelimanya memimpin upacara di sekitar bendera, pendaki-pendaki lainnya berdiri khusyuk di belakang mereka, dan pemandangan Gunung Semeru dengan manis melatari semua itu. Megah kelihatannya, terutama di layar lebar bioskop. Hebatnya lagi, Rizal Mantovani dan kawan-kawan tidak berhenti di situ. Mereka sampai bersusah payah mengambil sejumlah aerial shot Gunung Semeru–menggunakan helikopter, yang berarti sangat mahal–untuk menekankan kemegahan tersebut.

Pertanyaannya kemudian: apakah gambar bagus saja cukup? Film yang baik adalah film yang kemasan dan gagasannya saling mendukung. Kemegahan kemasan 5 cm tidak sejalan dengan keseluruhan gagasan yang ingin disampaikan. Momen upacara di puncak Semeru sesungguhnya adalah klimaks cerita. Kalau ia kita pisahkan dari adegan-adegan lain dalam 5 cm, adegan itu akan terlihat megah. Namun, saat dilihat sebagai bagian dari garis cerita 5 cm, adegan itu akan mengundang banyak pertanyaan. Kenapa lima sekawan ini dipercaya menjadi pemimpin upacara? Apakah mereka punya kedudukan yang lebih tinggi dibanding pendaki-pendaki lainnya? Kalau iya, mana buktinya dalam cerita? Bukankah mereka semua, kecuali (mungkin) Genta, tak punya reputasi sebagai pendaki gunung maupun penjelajah alam?

Sungguh mengkhawatirkan ketika klimaks cerita malah menghadirkan pertanyaan-pertanyaan baru. Lebih mengkhawatirkan lagi, pertanyaan-pertanyaan ini bukan jenis pertanyaan yang membuka ruang tafsir baru, tapi yang menyorot cacat-cacat dalam bangunan keseluruhan film. Gambar yang baik memang sebuah nilai plus, namun tautan cerita di baliknya yang memungkinkan gambar-gambar ini bernafas. Gambar-gambar di 5 cm mati total.

Bagi penggemar buku 5 cm, atau minimal sudah membaca bukunya, film ini punya potensi untuk menjadi tontonan yang baik. Lubang-lubang dalam cerita bisa ditambal oleh bekal pengetahuan sebelum menonton. Bagi penonton awam, 5 cm tak terselamatkan.

Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/review/rev50cfe1e0b9468_5-cm-yang-terlampau-jauh#.UNGnYOQUuzw