Resensi "Ambilkan Bulan"

AT Mahmud dan Romantisme Anak-anak

Sinema nasional kita belumlah menjadi tempat yang ramah bagi anak-anak. Dalam lima tahun terakhir, jumlah film panjang untuk konsumsi anak-anak tak pernah melewati angka lima setiap tahunnya, sementara horor, drama remaja, dan komedi dewasa terus-menerus mendominasi. Ini patut dipertanyakan. Industri perfilman nasional kita bisa bangkit berjalan lagi salah satunya berkat Petualangan Sherina, yang sukses menarik anak-anak dan keluarga ke bioskop tahun 1999 silam. Maju satu dekade kemudian, kita mendapati bioskop-bioskop yang nyaris steril dari film lokal untuk anak-anak.



Dalam kurun waktu yang kurang lebih sama, lagu anak-anak di Indonesia mulai jadi komoditas museum. Ajang pencarian bakat menyanyi anak-anak semakin banyak di televisi, namun lagu yang tepat untuk dinyanyikan anak seusia mereka tak jua bertambah. Terjadilah pemandangan yang canggung. Anak-anak melantunkan balada tentang selingkuh dan putus cinta, dua hal yang begitu populer di pop lokal dewasa ini. Mereka dipaksa membayangkan kehidupan yang tak seharusnya mereka bayangkan di usianya.


Ambilkan Bulan oleh karenanya patut kita perhatikan. Bagi anak kelahiran 1990 ke atas, film garapan Ifa Isfansyah ini mungkin akan terasa seperti kapsul waktu. Sepanjang film bertebaran bunyi dan imaji anak-anak masa lampau. Terdengar lagu-lagu AT Mahmud, macam Libur Telah Tiba, Anak Gembala, Naik Kereta Api, Pelangi, dan tentu saja Ambilkan Bulan. Lagu-lagu ini populer di tahun 1970 dan 1980, dan belum menemukan penerusnya yang sepadan di zaman sekarang. Tampak pula sejumlah adegan yang melibatkan permainan klasik anak-anak, macam ular naga, yang kian kehilangan tempat tengah derasnya pembangunan ibu kota dan maraknya permainan digital. Semuanya dikemas dalam kisah petualangan anak-anak dengan animasi dan pemandangan alam yang cantik.

Sekilas, naskah Jujur Prananto untuk Ambilkan Bulan terasa mengulang formula yang ia pakai untuk Petualangan Sherina: seorang gadis kota melakukan petualangan lintas alam ke luar kota. Petualangan ini ia lakoni bersama teman-teman barunya, dan menjadi pembelajaran baginya serta pengencangan tali silaturahmi dengan orang-orang di sekitarnya. Protagonis Ambilkan Bulan adalah Amelia (Lana Nitibaskara), seorang gadis kecil yang begitu melek media, sehingga pergaulan virtualnnya menjadi kompensasi atas keterputusan koneksinya dengan orangtuanya. Bapaknya diceritakan sudah tutup usia di sebuah kecelakaan mobil sementara ibunya terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Melalui Facebook, Amelia berkenalan dengan Ambar (Berlianda Adelianaan Naafi), anak seusianya yang tinggal di lereng Gunung Lawu, yang ternyata juga adalah saudaranya. Tumbuh niat dalam diri Amelia untuk mengunjungi saudaranya, sekalian tamasya ke gunung yang menurut Ambar pemandangannya begitu menyejukkan mata.

Formula ala Petualangan Sherina ini sayangnya kurang rapi penuturannya di Ambilkan Bulan. Sepuluh menit film terasa begitu padat informasi, mulai dari kisah kematian bapak Amelia, penemuan fakta bahwa Ambar adalah saudara Amelia, nostalgia Amelia tentang ayahnya (yang digambarkan secara imajinatif oleh pembuat film), hingga beberapa cekcok Amelia dengan ibunya. Selanjutnya, plot berjalan sembari menyesuaikan lagu AT Mahmud yang muncul. Alhasil, banyak elemen cerita yang terasa diada-adakan dan dipas-paskan. Ambil contoh, ketika lagu Naik Kereta Api berkumandang, gambar langsung pindah ke sebuah segmen animasi yang menampilkan kereta api dan mobil yang Amelia tumpangi. Kereta api tersebut tak ada kaitannya dengan cerita dan tak punya fungsi apa-apa dalam cerita. Kebetulan saja, kereta api itu berada satu lokasi dengan Amelia.

Kesan diada-adakan ini paling kentara ketika film menyajikan lagu Ambilkan Bulan. Amelia sedang tersesat di atas gunung bersama teman-teman barunya. Bulan purnama menghiasi layar. Ketika lagu AT Mahmud yang menjadi judul film ini terdengar, film pun melakukan sejumlah kilas balik ke keluarga Amelia sewaktu ayahnya masih hidup. Tersingkaplah momen-momen manis keluarga Amelia, ketika ayah Amelia melukiskan purnama yang nampak dari jendela apartemen mereka, lalu mereka bertiga berpelukan sambil tersenyum. Bulan ini jelas punya signifikansi tersendiri bagi Amelia, namun kenapa baru diceritakan di pertengahan film? Kenapa tidak diceritakan di sepuluh menit awal film ketika film sibuk memperkenalkan tokoh-tokohnya? Konsekuensinya, bulan yang sebenarnya penting bagi Amelia ini terasa seperti tempelan saja.

Terlepas dari kekacauan naratifnya, naskah Ambilkan Bulan tak abai dengan perkembangan masyarakat modern. Amelia merupakan representasi yang tepat dari anak generasi sekarang: melek media dan berkenalan dengan dunia luar dari imaji-imaji yang ia temui di media virtual. Interaksi keluarga Amelia pun menjadi semacam catatan tersendiri dari keluarga kontemporer di Indonesia. Ada semacam kegagapan di pihak ibu Amelia dalam memahami kebiasaan anaknya berselancar di dunia maya, sementara Amelia merindukan keberadaan fisik orangtua di rumahnya. Ada satu shot cukup singkat di pertengahan awal film, saat Amelia terlihat sedang memeluk seorang perempuan dewasa, namun kepala perempuan itu terpotong oleh frame. Perempuan itu adalah pembantu rumah tangga Amelia. Beginilah mungkin kerinduan akan sosok fisik orangtua di mata anak-anak modern: wajah lama-lama tak jadi soal, asalkan fisiknya selalu ada di rumah.

Bagusnya lagi, Ambilkan Bulan santai dalam memandang relasi Jakarta dan daerah di luarnya. Petualangannya ke luar kota adalah atas keinginan Amelia sendiri, keinginannya bertemu dengan Ambar, saudaranya. Tak ada paksaan dari orangtua maupun kekuatan-kekuatan lainnya dari luar dirinya. Petualangan ini juga Amelia jalani dengan senang hati, tanpa ada cibiran maupun penghakiman atas perbedaan-perbedaan yang ia temui di luar sana. Bahkan, Amelia bisa berkenalan dengan Ambar melalui Facebook, yang berarti internet sudah menjadi kebiasaan sehari-hari di lereng Gunung Lawu sana, yang berarti juga Ambilkan Bulan turut mengakui adanya pembangunan di luar Jakarta sana.

Sikap yang diusung Ambilkan Bulan ini krusial. Dengan tidak membayangkan Jakarta sebagai satu-satunya lokus pembangunan, potret lanskap alam yang memenuhi film menjadi beralasan. Pemandangan alam tak menjadi pemanis eksotis belaka, yang kerap kali menjadi satu-satunya distingsi daerah luar kota dalam film-film Indonesia, seakan-akan daerah-daerah tersebut tak pernah tersentuh oleh peradaban modern. Bebukitan dan hutan di Ambilkan Bulan merupakan ruang-ruang terbuka yang belum dijelajahi anak-anak ini, karena mereka terlalu terkungkung oleh keseharian mereka yang didominasi layar perangkat-perangkat digital. Bukan Amelia si anak kota saja yang mengalami keterputusan dari ruang-ruang terbuka ini, tapi juga Ambar, yang notabene tinggal hanya sepelemparan batu dari keindahan alam tadi.

Alhasil, Ambilkan Bulan tak saja menjadi ajakan berpetualang untuk generasi sekarang, tapi juga memberikan konteks yang tepat bagi lagu-lagu AT Mahmud. Lagu-lagu tersebut ditulis ketika kehidupan anak-anak negeri ini belum diinvasi oleh piranti digital. Anak-anak masihlah bermain dengan lingkungannya, dan semangat itulah yang dilakukan lagu-lagu AT Mahmud: meromantisir lingkungan di sekitar anak-anak, mulai dari hujan, bulan, hingga kereta api. Lagu-lagu ini tak saja menjadi sarana yang baik untuk mengenal lingkungan sekitarnya, tapi juga berimajinasi. Ambilkan Bulan sukses mengembalikan romantisme serupa untuk anak-anak sekarang.

Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/review/rev4ffac80062b91_at-mahmud-dan-romantisme-anak-anak#.UNHhh-QUuzw