Resensi "Soegija"

Soegija Hanya Sebatas Nama

Sia-sia melihat Soegija sebagai film biopik. Film panjang ke-12 yang disutradarai Garin Nugroho ini tidak berusaha membangun tokoh utamanya secara utuh, tidak juga berniat ke arah sana. Adalah ungkapan pemikirannya, bukan sosok sang tokoh, yang hadir secara dominan dalam narasi film. Di shot pembuka film, terlihat ada sebuah buku catatan yang ditulisi Soegija. Kemudian terdengar sebuah narasi suara, “Kemanusiaan itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal usul, dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan sebuah keluarga besar.” Kutipan ini muncul lagi di penghujung film, mengikat keseluruhan film. Penonton tak mungkin tak memperhatikannya.



Ada apa dengan kutipan ini? Kutipan ini menyiratkan semangat toleransi keragaman, satu hal yang begitu tercermin dalam konstelasi tokoh-tokoh di Soegija. Total ada lima tokoh yang punya garis cerita sendiri. Ada Monsinyur Soegijapranata (Nirwan Dewanto), uskup pribumi pertama untuk gereja Katolik Indonesia. Ia menghadapi dinamika perang kemerdekaan, dari tahun 1940-1949, bersama asisten pribadinya, Toegimin (Butet Kartaredjasa). Ada Lantip (Rukman Rosadi), seorang anak muda dengan segala ambisinya untuk memajukan bangsa. Saat perang ia menjadi pemimpin barisan muda, sesudahnya ia terjun ke politik. Ada Banteng (Andriano Fidelis), remaja buta huruf yang juga tentara gerilya. Ada Mariyem (Annisa Hertami), gadis lulusan sekolah keperawatan yang kehilangan abangnya saat perang. Sepanjang film, ia menjalani hubungan putus-sambung dengan Hendrick (Wouter Braaf), seorang jurnalis muda Belanda. Ada juga Lingling (Andrea Reva), anak keturunan Tionghoa yang terpisah dengan ibunya ketika tentara Jepang mulai menancapkan kukunya di wilayah republik.

Konstelasi tokoh ini berujung pada dua implikasi. Pertama, Soegija terasa begitu dekat. Film ini mencoba bicara banyak tentang kondisi Indonesia sekarang. Keragaman tokoh yang Garin susun mendorong penonton untuk mengidentifikasi dengan pergolakan bangsa selama beberapa tahun terakhir. Paling kentara ketika Soegija bertutur tentang cerita Lingling. Ada satu adegan di pantai, di mana Lingling mencurahkan isi hatinya pada Romo Soegija, kesal akan segala kesulitan yang menimpa keluarganya. Ketika Lingling bertanya “Apa karena kami Tionghoa?”, gaung peristiwa 1998 sayup-sayup terdengar. Perhatikan juga tindak-tanduk Banteng. Ada satu adegan di pasar ketika Banteng menghardik teman mainnya karena menyimpan receh yang diberikan orang-orang yang lalu lalang . “Orang pintar kok ngambil duit rakyat,” tukas Banteng sembari merebut uang temannya. Dalam waktu bersamaan, kasus-kasus korupsi di pemerintahan belakangan ini pun tersinggung.

Implikasi kedua: jumlah tokoh yang membludak ini menyebabkan penuturan Soegija sangatlah episodik. Narasi film berpindah-pindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya, tanpa ada banyak kesempatan untuk mendalami lebih lagi. Di sinilah titik masalah Soegija. Tak pernah nampak ada struggle, segalanya terasa instan dan terjadi begitu saja. Ini terasa dari konflik yang paling trivial hingga yang paling esensial, menjadikan Soegija film yang nyaris bersih dari ketegangan dan kontradiksi (kecuali debat Hendrick dengan temannya seorang tentara tentang penjajahan Indonesia).

Ambil contoh kisah kasih Mariyem dan Hendrick. Pertemuan mereka terjadi ketika Romo Soegija dilantik sebagai uskup. Berakhir canggung, ketika Hendrick salah dengar nama Mariyem jadi Maria. Pertemuan berikutnya di lokasi pengungsian. Lagi-lagi berakhir canggung, akibat ulah Hendrick yang mempertanyakan tangisan Mariyem. Beberapa adegan kemudian, keduanya nampak kencan mesra, naik motor berdua dengan latar langit sore yang menguning. Kapan keduanya mengalami titik balik dalam hubungan mereka? Kejadian apa yang memungkinkan kecanggungan keduanya lumer menjadi keakraban yang manis?

Lihat juga kronologi perjalanan Romo Soegija sepanjang film. Selain kutipan “kemanusiaan adalah satu” tadi, ada juga kutipan “100% Katolik, 100% republik” yang sama pentingnya dalam film. Penting, karena pada zaman perang kemerdekaan, keuskupan Katolik di Indonesia menghadapi tekanan yang besar. Gereja Katolik di Indonesia dianggap sebagai bagian dari penjajah karena banyak pastor yang berasal dari Belanda, sementara pastor-pastor Belanda itu belum mau menerima keberadaan republik Indonesia dan masih melihat republik sebagai problem keamanan. Di sisi lain, ada keraguan di kalangan umat Katolik yang pribumi untuk ikut terlibat dalam perjuangan, akibat sentimen Katolik-adalah-Belanda yang tersebar di publik. Melalui diplomasi yang ulung, yang terangkum dalam slogan “100% Katolik, 100% republik”, Romo Soegija berhasil menjembatani keraguan banyak pihak tersebut.

Kontradiksi antarpihak inilah yang tidak terekam secara konkret dalam Soegija. Peran revolusioner Monsinyur Soegijapranata jadi tak terjelaskan dalam film, padahal film ini mengemban namanya dan bermuara dari ungkapan pemikirannya. Ia hadir layaknya agen sejarah yang sukses begitu saja memperjuangkan kepentingan republik, tanpa ada halangan yang berarti dari pihak kolonial, keraguan dari umat Katolik, dan debat ideologis dengan dewan gereja. Ini sama saja seperti kita mementaskan drama Natal yang mengisahkan perjalanan Yesus, namun menghilangkan perdebatannya dengan orang-orang Filistin yang tak terima Yesus sebagai “100% Tuhan, 100% manusia”. Steril dan serba instan.



Potensi-potensi yang Tak Terpenuhi

Muatan cerita Soegija sejatinya berpotensi membuka jendela-jendela baru dalam membaca sejarah bangsa, sayangnya eksekusinya menyebabkan film terjembab sebelum memenuhi potensi-potensi itu. Ada dua titik potensial. Pertama, Soegija berpotensi menjadi satu dari sedikit film Indonesia tentang perjuangan kemerdekaan di meja diplomasi. Ini terkait dengan perundingan-perundingan damai yang dilakukan Romo Soegija dengan pihak Sekutu dan Jepang, terkait juga dengan terlalu dominannya penggambaran perjuangan fisik dalam sinema Indonesia. Bukankah buku-buku sejarah menceritakan kalau perjuangan juga banyak terjadi di meja diplomasi?

Sangat disayangkan peran diplomat ini kurang terangkat, mengingat pencapaian Romo Soegija yang disorot dalam film adalah meyakinkan Vatikan untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Ini satu dari sedikit tindakan konkret yang dilakukan Romo Soegija sepanjang film. Sisanya Romo Soegija lebih banyak terkait dengan penulisan dan pengucapan kutipan-kutipan dari catatan pribadinya. Sungguh verbal dan tak banyak membangun tokoh Romo Soegija itu sendiri. Usaha diplomatis Romo Soegija baru sekadar ditampilkan hasil akhirnya, belum usaha dan keringat yang ia kerahkan.

Potensi kedua yang tak terpenuhi adalah pemaknaan keragaman bangsa dari perspektif minoritas. Ini terkait dengan kebiasaan sinema Orde Baru dalam melukiskan perjuangan pra dan pasca kemerdekaan sebagai perjuangan massa yang homogen secara politis, seakan-akan kelompok nasionalis, muslim, komunis, dan sebagainya bergerak dalam paham yang sama. Padahal, masing-masing identitas pastilah memiliki bentuk struggle sendiri-sendiri. Kalaupun ada perbedaan yang ditekankan, itu juga baru sekadar perbedaan ras dan agama saja, belum perbedaan politis. Seakan-akan segala perbedaan pada akhirnya bisa tumbuh bersama dalam harmoni tanpa ada friksi yang berarti. Soegija sayangnya hanya mengulangi hal yang sama.

Modal Soegija sesungguhnya besar untuk membuka bacaan tentang keragaman bangsa dari bingkai politis, mengingat posisi politis umat Katolik seperti yang sudah dijelaskan tadi problematis di semesta perjuangan kemerdekaan. Dalam posisi yang liyan secara politis inilah, tatanan masyarakat yang melingkupi umat Katolik bisa dilihat secara berjarak dan objektif. Ditambah juga salah satu dialog Banteng di pertengahan film, ketika Indonesia baru saja merdeka, “Merdeka apanya? Kalian merebut kerbauku!” Semakin terbukalah jalan untuk menganalisa ketegangan-ketegangan dalam tubuh masyarakat Indonesia yang beragam. Apa yang sebenarnya masyarakat untuk hidup merdeka? Apa yang harus masyarakat tanggung dalam proyek-proyek pembangunan pasca-kemerdekaan? Pertanyaan-pertanyaan ini belum terlalu banyak dieksplor dalam sinema Indonesia, dan Soegija menyiakan kesempatan yang sebenarnya sudah ia retas.

Pernyataan “100% Katolik, 100% republik” adalah pemikiran sekaligus respons Romo Soegija tentang perbedaan umat Katolik dengan sekitarnya, sementara pernyataan “Kemanusiaan, kendati berbeda, merupakan sebuah keluarga besar” untuk masyarakat secara umum. Sayangnya, kalimat-kalimat tersebut tak ditubuhkan dengan kejadian-kejadian konkret dalam narasi film, tak juga dijangkarkan dengan kokoh oleh kondisi-kondisi historis yang sejatinya meliputi penulisan kedua kalimat tersebut. Konsekuensinya, buah pemikiran Romo Soegija tersebut terasa terlalu generik dalam film, tak ada bedanya dengan slogan persatuan ala Bhineka Tunggal Ika yang sering dikumandangkan dan sudah kita ketahui selama ini.

Menonton Soegija tak ubahnya seperti menonton lakon panggung sandiwara perang. Kosa gambar Soegija didominasi oleh rangkaian master shot, yang silih-berganti mempertemukan dua atau tiga tokoh bertukar dialog dalam satu frame yang luas. Melatari tokoh-tokoh tersebut adalah sejumlah lokasi zaman yang dirias sedemikian meyakinkan oleh tim produksi. Untuk urusan teknis ini, tim produksi Soegija patutlah diacungi jempol. Alhasil, yang membekas ketika film usai adalah ruang-ruang yang menubuhi cerita dan retorika-retorika yang diucapkan di dalamnya. Romo Soegija sendiri hanya sebatas nama di judul film.

Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/review/rev4fd6bdd4b1dd4_soegija-hanya-sebatas-nama#.UNHhh-QUuzw