Amunisi Perfilman Masa Depan

Amunisi Perfilman Masa Depan

Minggu, 28 Maret 2010 | 03:07 WIB

DAHONO FITRIANTO

Sekelompok kaum muda pencinta dan pembuat film yang jauh dari pusat industri film berkumpul di Solo, Jawa Tengah. Mereka membahas dan merancang masa depan perfilman Indonesia.

Sedikitnya 162 orang dari 45 komunitas film independen di seluruh Indonesia menghadiri Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, 17-20 Maret. Selama empat hari, dalam kondisi ala kadarnya, mereka mendiskusikan berbagai hal, mulai dari kondisi film dan perfilman Indonesia dewasa ini, pendidikan film, cara membuat film, cara menggelar festival film, hingga membahas jalur distribusi independen.

Masa depan film dan perfilman Indonesia bukan tidak mungkin ditentukan kongres berbiaya Rp 25 juta di Solo itu. Beberapa tokoh perfilman independen nasional tampak terlihat di kongres tersebut, dari penggagas festival film independen Konfiden Alex Sihar, pendiri Festival Film Purbalingga Bowo Leksono, penggiat komunitas film independen Lulu Ratna dan Dimas Jayasrana. Selebihnya adalah perwakilan dari komunitas film yang selama ini ”bergerilya” di seluruh pelosok Nusantara.

Para peserta antara lain datang dari komunitas Forum Lenteng dari Jakarta, Artea Film Community dari Palembang, Sources of Indonesia (SOI) dari Medan, Kine Wakref dari Pekanbaru, Lensa Creatifilm dari Cianjur, Sangkanparan dari Cilacap, Kinoki dari Yogyakarta, hingga Matakaca sebagai tuan rumah di Solo.

Buatan sendiri

Komunitas Lensa Creatifilm, misalnya, berdiri sejak 2005 di kota Cianjur, Jawa Barat, yang bahkan tidak mengenal tradisi nonton film setelah bioskop di kota itu sekarat dan akhirnya punah pada tahun 2004. ”Awal kami mendirikan Lensa dulu masih kurang menarik perhatian masyarakat karena waktu itu Pemerintah Daerah Cianjur sedang giat-giatnya memasyarakatkan slogan pembangunan Gerbang Marhamah. Film menjadi barang asing,” tutur Saeful Adha (25), Ketua Komunitas Lensa Creatifilm.

Kini, komunitas itu memiliki program pemutaran film rutin di ruangan Dewan Kesenian Cianjur setiap dua minggu atau sebulan sekali. Dengan bermodalkan pemutar DVD, proyektor digital InFocus, dan layar seadanya, ”bioskop” Lensa ini rata-rata dikunjungi 500 orang setiap pemutaran film. Dalam sehari bisa dua sampai tiga sesi pemutaran film, termasuk yang berjenis dokumenter dari dalam maupun luar negeri. ”Terakhir kami memutar film Home-nya Yann Arthus-Bertrand,” papar Adha.

Komunitas Lensa juga sudah dua kali menggelar Festival Film Pelajar dan menganugerahkan Pare Awards (dari kata pare dalam bahasa Sunda yang artinya padi) untuk film pendek terbaik karya para pelajar SMA di wilayah Cianjur dan sekitarnya yang belajar membuat film secara otodidak dengan sarana seadanya. ”Daripada nonton film-film sampah Indonesia, mending bikin film sendiri. Jadi kami tidak cuma bisa ngeritik, tetapi ada tindakan nyata,” tandas Adha.

Begitu juga komunitas Matakaca di Solo, kini rutin menggelar acara nonton bareng dua kali sebulan. Setiap bulan ganjil, yang diputar film dokumenter, sementara pada bulan-bulan genap mereka memutar film fiksi. ”Film pendek maupun film panjang yang tidak diputar di bioskop. Kebanyakan adalah film-film buatan teman-teman dari komunitas film lain,” tutur Joko Narimo (29), salah satu pendiri Matakaca pada 2006.

Awalnya, Matakaca didirikan dengan semangat memberikan tontonan alternatif bagi masyarakat di luar sajian sinetron di televisi. Pemutaran film dan diskusi dilakukan di sebuah ruangan Lembaga Studi Desain Solo. Sejak Januari lalu, komunitas Matakaca diizinkan oleh Pemerintah Kota Solo untuk memanfaatkan gedung bekas bioskop Solo Theater di kompleks Taman Sriwedari.

Komunitas Limaenam Films dari Yogyakarta bahkan sudah berulang kali berhasil menembus festival film bergengsi dunia. Film pendek Musafir/Wanderers karya Bagus Wirati Purbanegara masuk dalam Berlin International Film Festival 2009, sementara film Hujan Tak Jadi Datang/It’s Not Raining Outside karya Yosep Anggi Noen menjadi salah satu wakil Indonesia di Rotterdam International Film Festival 2010 dan Singapore International Film Festival 2010.

Tidak ”nyambung”

Anehnya, potensi dan semangat menggebu-gebu dari komunitas-komunitas independen ini seperti tidak nyambung dengan kondisi industri utama film Indonesia yang miskin inovasi dan kreativitas. Bukankah seharusnya dengan potensi akar rumput yang sedemikian besar, film Indonesia bisa berbuat lebih daripada yang terlihat sekarang ini?

”Industri film Indonesia itu pelakunya orang-orang yang terlalu konvensional. Mereka tidak berusaha mendiferensiasi produk dan mencoba melirik potensi-potensi lain. Padahal kalau mereka ingin membuat film murah tetapi berkualitas, lihatlah orang-orang ini yang seharusnya mereka kasih duit,” tutur Dimas Jayasrana, salah satu penggagas kongres di Solo, tentang ketidaknyambungan ini.

Dimas mengakui, sebagian pembuat film dari dunia independen ini sudah diserap masuk ke dalam industri, tetapi hanya dalam kapasitas sebagai ”tukang” sehingga tidak mampu berbuat banyak. ”Mereka masih belum diakui sebagai filmmaker,” katanya.

Dari pihak produser, Manoj Punjabi dari MD Pictures berpendapat bahwa para pembuat film independen itu harus lebih banyak berkiprah di Jakarta, sebagai pusat industri film di Indonesia, agar bisa dilirik oleh produser. ”Kalau di Amerika orang ingin berkarier di dunia film, ya harus datang ke Hollywood. Kami terbuka menerima mereka,” tandas Manoj.

Sementara itu, menurut Yosep Anggi Noen dari Komunitas Film 56, ada sebagian pembuat film independen ini yang memang tidak ingin berhubungan dengan produser komersial karena khawatir akan mengompromikan idealisme mereka. ”Saya sendiri sampai sekarang memilih belum masuk ke industri karena ingin memperkuat posisi saya dulu sebagai filmmaker. Sehingga suatu saat saya masuk ke industri, posisi saya sudah cukup kuat untuk tidak terkooptasi modal,” papar Anggi.

Meski demikian, sutradara dan produser Nia Dinata optimistis masa depan perfilman Indonesia ada di tangan anak-anak indie ini. ”Saya kira generasi perfilman Indonesia ke depan sudah aman. Mereka bagus, punya ide fresh, tak peduli pada pakem industri yang sekarang, dan sangat kritis. Tetapi mereka masih perlu bimbingan dari kelompok atau individu yang punya pengalaman lebih,” ujar Nia.

Nia menambahkan, pemerintah boleh tak peduli terhadap perfilman nasional saat ini. Tetapi potensi di bawah masih oke. ”Itu amunisi yang menjanjikan untuk masa depan,” tuturnya.

(ILHAM KHOIRI)

sumber:

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/28/03075946/amunisi.perfilman.masa.depan