Ungkapan cerita panjang diungkap....
SELAMAT ALMI.... SEBAGAI KETUA UMUM UKM MAV-NET UIKA BOGOR
Ungkapan cerita panjang diungkap....
Logika Hantu Film Kita
KOMPAS.com - Darah muncrat dari wajah perempuan itu ketika sekop mendarat di dahinya dan melesak sampai ke belakang kepala. Adegan berganti lagi, kali ini potongan kepala, beserta separuh potongan badan yang berlumuran darah, digeletakkan di meja operasi.
Adegan berganti dengan cepat di layar ”bioskop” di Gedung Lembaga Sensor Film (LSF), Jakarta. Tentu saja tidak ada jalan ceritanya karena itu merupakan guntingan sensor film selama dua tahun terakhir. Hampir semua potongan film itu berisi kekerasan, sadisme, dan seks.
Ketika Wakil Ketua LSF Nunus Supardi menawari makan siang seusai pemutaran film, kami sempat mohon jeda sejenak. Maklumlah di antara potongan film tadi ada adegan mengunyah potongan tubuh.
Inikah cerminan wajah mutakhir film Indonesia? Pertanyaan ini cukup relevan diajukan kembali, terlebih 30 Maret besok merupakan Bulan Film Nasional, yang sekaligus mengingatkan bahwa industri perfilman di negeri ini sudah berusia 60 tahun.
Kita masih ingat tahun 2008 dan 2009 dunia film Indonesia menorehkan sejarah dan rekor-rekor lewat film Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi.
Namun, pada tahun 2010, khususnya sejak rilis Sang Pemimpi medio Desember 2009, belum ada lagi film Indonesia yang menonjol dari segi kualitas dan jumlah penonton. Memang ada lima film yang mewakili Indonesia di International Festival Film Rotterdam, akhir Januari lalu, yakni empat film pendek: Purnama di Pesisir/Full Moon (sutradara Chairun Nissa), Hujan Tak Jadi Datang/It’s Not Raining Outside (Yosep Anggi Noen), Janji/La Promesse (Joko Anwar), dan On Broadway (Aryo Danusiri), serta satu film cerita panjang, At The Very Bottom of Everything/Di Dasar Segalanya (Paul Agusta). Namun, semuanya tidak bisa dinikmati secara luas oleh publik Indonesia sendiri karena tidak diputar di bioskop nasional.
Selebihnya, layar bioskop Indonesia pada tiga bulan pertama tahun 2010 didominasi film-film bertema horor dan roman remaja. Judulnya pun seram-seram: Dendam Pocong Mupeng, Kain Kafan Perawan, Suster Keramas, dan lainnya.... Sebagian film bertema horor ini mulai menyisipkan seks untuk menarik minat penonton. Hal ini mengingatkan periode keterpurukan industri film nasional pada dekade 1990-an saat produksi film hanya dipenuhi film-film horor berbumbu seks.
Mukhlis PaEni, Ketua LSF, mengatakan, gunting sensor sempat memotong sampai 108 meter sebuah film hantu karena selain adegannya sangat vulgar (antara lain perempuan diperkosa hantu), juga jalan ceritanya tidak masuk akal.
”Ini cerminan betapa konyolnya budaya kita di mana orang yang hidup sudah tidak bisa memberi hiburan sehingga tugas memberi hiburan itu diserahkan kepada hantu-hantu,” kata Mukhlis sambil tertawa.
Toh, pengamat perfilman Seno Gumira Ajidarma tetap optimistis. Menurut dia, dinamika saat ini justru menunjukkan bahwa film Indonesia mulai menjadi tuan rumah di negerinya. Meskipun film-film horor saat ini mendominasi layar bioskop, fenomena tersebut mencerminkan keberadaan film itu dikehendaki dan memberi makna bagi penonton.
”Kalau menurut pandangan ’arogan’, film-film saat ini sering dianggap bermutu rendah dan indikasi kebodohan. Tetapi, kita harus melihat, kalau penonton itu senang, ya film itu indah bagi mereka. Artinya ada makna bagi mereka, memenuhi ideological ideas mereka, memenuhi kebutuhan atas identitas bahwa ’ini film gue’,” katanya.
Yang menarik dari film-film itu, hampir semua tokoh setannya adalah korban, entah korban pembunuhan, pemerkosaan, atau penganiayaan. ”Mereka hanya bisa membalas dengan menjadi hantu, ini pun hanya dalam film. Jadi ada proses identifikasi dengan para korban,” ujar Seno.
Veronika Kusumaryati yang meneliti film horor Indonesia produksi tahun 1934 sampai 2008 berpendapat, pada masyarakat terjadi semacam transformasi menuju modernitas. ”Akan tetapi, dari sisi mental, mereka masih percaya pada hantu ’tradisional’,” kata perempuan lulusan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta ini.
Lemah logika
Tak ada yang tabu untuk memproduksi film horor ataupun cinta-cintaan. Hampir semua pusat industri film dunia juga tak bisa lepas dari ramuan standar: cinta, seks, horor, dan kekerasan. Persoalannya adalah takarannya, kelogisannya, dan keruntunan ceritanya.
Saeful Adha (25), pencinta film dan penggiat komunitas Lensa Creatifilm di Cianjur, Jawa Barat, beranggapan, kelemahan utama sebagian besar film Indonesia adalah isi ceritanya. ”Dari segi teknis pembuatan film, pembuat film kita sudah menguasai, sudah jago. Tetapi, sebenarnya apa, sih, yang ingin mereka sampaikan melalui film-film itu? Kan, tidak pernah jelas,” tutur Adha di sela-sela Kongres Nasional Kegiatan Film Berbasis Komunitas di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, Kamis (18/3).
Senada dengan Adha, Joko Narimo (29), penggerak komunitas film Matakaca dari Solo, Jawa Tengah, juga melihat permasalahan utama film-film di Indonesia adalah pada gagasan cerita. ”Ide ceritanya parah! Monoton dan sering ikut-ikutan,” ucapnya.
Persoalan klasik lainnya, produser dipaksa secepatnya menghasilkan film untuk dilempar ke pasar. Akibatnya sebagian besar dari mereka mengambil jalan pintas, yakni mengkloning ide cerita dari film-film asing. Sedemikian keringkah sumur kreativitas sineas kita?
(MYR/BSW/CAN/DHF
)
Amunisi Perfilman Masa Depan
Minggu, 28 Maret 2010 | 03:07 WIB
DAHONO FITRIANTO
Sekelompok kaum muda pencinta dan pembuat film yang jauh dari pusat industri film berkumpul di Solo, Jawa Tengah. Mereka membahas dan merancang masa depan perfilman Indonesia.
Sedikitnya 162 orang dari 45 komunitas film independen di seluruh Indonesia menghadiri Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, 17-20 Maret. Selama empat hari, dalam kondisi ala kadarnya, mereka mendiskusikan berbagai hal, mulai dari kondisi film dan perfilman Indonesia dewasa ini, pendidikan film, cara membuat film, cara menggelar festival film, hingga membahas jalur distribusi independen.
Masa depan film dan perfilman Indonesia bukan tidak mungkin ditentukan kongres berbiaya Rp 25 juta di Solo itu. Beberapa tokoh perfilman independen nasional tampak terlihat di kongres tersebut, dari penggagas festival film independen Konfiden Alex Sihar, pendiri Festival Film Purbalingga Bowo Leksono, penggiat komunitas film independen Lulu Ratna dan Dimas Jayasrana. Selebihnya adalah perwakilan dari komunitas film yang selama ini ”bergerilya” di seluruh pelosok Nusantara.
Para peserta antara lain datang dari komunitas Forum Lenteng dari Jakarta, Artea Film Community dari Palembang, Sources of Indonesia (SOI) dari Medan, Kine Wakref dari Pekanbaru, Lensa Creatifilm dari Cianjur, Sangkanparan dari Cilacap, Kinoki dari Yogyakarta, hingga Matakaca sebagai tuan rumah di Solo.
Komunitas Lensa Creatifilm, misalnya, berdiri sejak 2005 di kota Cianjur, Jawa Barat, yang bahkan tidak mengenal tradisi nonton film setelah bioskop di kota itu sekarat dan akhirnya punah pada tahun 2004. ”Awal kami mendirikan Lensa dulu masih kurang menarik perhatian masyarakat karena waktu itu Pemerintah Daerah Cianjur sedang giat-giatnya memasyarakatkan slogan pembangunan Gerbang Marhamah. Film menjadi barang asing,” tutur Saeful Adha (25), Ketua Komunitas Lensa Creatifilm.
Kini, komunitas itu memiliki program pemutaran film rutin di ruangan Dewan Kesenian Cianjur setiap dua minggu atau sebulan sekali. Dengan bermodalkan pemutar DVD, proyektor digital InFocus, dan layar seadanya, ”bioskop” Lensa ini rata-rata dikunjungi 500 orang setiap pemutaran film. Dalam sehari bisa dua sampai tiga sesi pemutaran film, termasuk yang berjenis dokumenter dari dalam maupun luar negeri. ”Terakhir kami memutar film Home-nya Yann Arthus-Bertrand,” papar Adha.
Komunitas Lensa juga sudah dua kali menggelar Festival Film Pelajar dan menganugerahkan Pare Awards (dari kata pare dalam bahasa Sunda yang artinya padi) untuk film pendek terbaik karya para pelajar SMA di wilayah Cianjur dan sekitarnya yang belajar membuat film secara otodidak dengan sarana seadanya. ”Daripada nonton film-film sampah Indonesia, mending bikin film sendiri. Jadi kami tidak cuma bisa ngeritik, tetapi ada tindakan nyata,” tandas Adha.
Begitu juga komunitas Matakaca di Solo, kini rutin menggelar acara nonton bareng dua kali sebulan. Setiap bulan ganjil, yang diputar film dokumenter, sementara pada bulan-bulan genap mereka memutar film fiksi. ”Film pendek maupun film panjang yang tidak diputar di bioskop. Kebanyakan adalah film-film buatan teman-teman dari komunitas film lain,” tutur Joko Narimo (29), salah satu pendiri Matakaca pada 2006.
Awalnya, Matakaca didirikan dengan semangat memberikan tontonan alternatif bagi masyarakat di luar sajian sinetron di televisi. Pemutaran film dan diskusi dilakukan di sebuah ruangan Lembaga Studi Desain Solo. Sejak Januari lalu, komunitas Matakaca diizinkan oleh Pemerintah Kota Solo untuk memanfaatkan gedung bekas bioskop Solo Theater di kompleks Taman Sriwedari.
Komunitas Limaenam Films dari Yogyakarta bahkan sudah berulang kali berhasil menembus festival film bergengsi dunia. Film pendek Musafir/Wanderers karya Bagus Wirati Purbanegara masuk dalam Berlin International Film Festival 2009, sementara film Hujan Tak Jadi Datang/It’s Not Raining Outside karya Yosep Anggi Noen menjadi salah satu wakil Indonesia di Rotterdam International Film Festival 2010 dan Singapore International Film Festival 2010.
Anehnya, potensi dan semangat menggebu-gebu dari komunitas-komunitas independen ini seperti tidak nyambung dengan kondisi industri utama film Indonesia yang miskin inovasi dan kreativitas. Bukankah seharusnya dengan potensi akar rumput yang sedemikian besar, film Indonesia bisa berbuat lebih daripada yang terlihat sekarang ini?
”Industri film Indonesia itu pelakunya orang-orang yang terlalu konvensional. Mereka tidak berusaha mendiferensiasi produk dan mencoba melirik potensi-potensi lain. Padahal kalau mereka ingin membuat film murah tetapi berkualitas, lihatlah orang-orang ini yang seharusnya mereka kasih duit,” tutur Dimas Jayasrana, salah satu penggagas kongres di Solo, tentang ketidaknyambungan ini.
Dimas mengakui, sebagian pembuat film dari dunia independen ini sudah diserap masuk ke dalam industri, tetapi hanya dalam kapasitas sebagai ”tukang” sehingga tidak mampu berbuat banyak. ”Mereka masih belum diakui sebagai filmmaker,” katanya.
Dari pihak produser, Manoj Punjabi dari MD Pictures berpendapat bahwa para pembuat film independen itu harus lebih banyak berkiprah di Jakarta, sebagai pusat industri film di Indonesia, agar bisa dilirik oleh produser. ”Kalau di Amerika orang ingin berkarier di dunia film, ya harus datang ke Hollywood. Kami terbuka menerima mereka,” tandas Manoj.
Sementara itu, menurut Yosep Anggi Noen dari Komunitas Film 56, ada sebagian pembuat film independen ini yang memang tidak ingin berhubungan dengan produser komersial karena khawatir akan mengompromikan idealisme mereka. ”Saya sendiri sampai sekarang memilih belum masuk ke industri karena ingin memperkuat posisi saya dulu sebagai filmmaker. Sehingga suatu saat saya masuk ke industri, posisi saya sudah cukup kuat untuk tidak terkooptasi modal,” papar Anggi.
Meski demikian, sutradara dan produser Nia Dinata optimistis masa depan perfilman Indonesia ada di tangan anak-anak indie ini. ”Saya kira generasi perfilman Indonesia ke depan sudah aman. Mereka bagus, punya ide fresh, tak peduli pada pakem industri yang sekarang, dan sangat kritis. Tetapi mereka masih perlu bimbingan dari kelompok atau individu yang punya pengalaman lebih,” ujar Nia.
Nia menambahkan, pemerintah boleh tak peduli terhadap perfilman nasional saat ini. Tetapi potensi di bawah masih oke. ”Itu amunisi yang menjanjikan untuk masa depan,” tuturnya.
sumber:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/28/03075946/amunisi.perfilman.masa.depan