Resensi "Lewat Djam Malam"

Kemerdekaan untuk Apa? Dan Siapa?

Akhirnya, film terbaik Bapak Perfilman Indonesia Usmar Ismail, Lewat Djam Malam, selesai direstorasi di Italia dan bisa disaksikan oleh generasi baru penonton bioskop. Tentu ada yang istimewa sampai dua lembaga besar asing, National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation yang diketuai Martin Scorsese, antusias membiayai penyelamatan salah satu kekayaan budaya penting Indonesia yang disia-siakan di negerinya sendiri ini.

Resensi "Soegija"

Soegija Hanya Sebatas Nama

Sia-sia melihat Soegija sebagai film biopik. Film panjang ke-12 yang disutradarai Garin Nugroho ini tidak berusaha membangun tokoh utamanya secara utuh, tidak juga berniat ke arah sana. Adalah ungkapan pemikirannya, bukan sosok sang tokoh, yang hadir secara dominan dalam narasi film. Di shot pembuka film, terlihat ada sebuah buku catatan yang ditulisi Soegija. Kemudian terdengar sebuah narasi suara, “Kemanusiaan itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal usul, dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan sebuah keluarga besar.” Kutipan ini muncul lagi di penghujung film, mengikat keseluruhan film. Penonton tak mungkin tak memperhatikannya.

Resensi "Ambilkan Bulan"

AT Mahmud dan Romantisme Anak-anak

Sinema nasional kita belumlah menjadi tempat yang ramah bagi anak-anak. Dalam lima tahun terakhir, jumlah film panjang untuk konsumsi anak-anak tak pernah melewati angka lima setiap tahunnya, sementara horor, drama remaja, dan komedi dewasa terus-menerus mendominasi. Ini patut dipertanyakan. Industri perfilman nasional kita bisa bangkit berjalan lagi salah satunya berkat Petualangan Sherina, yang sukses menarik anak-anak dan keluarga ke bioskop tahun 1999 silam. Maju satu dekade kemudian, kita mendapati bioskop-bioskop yang nyaris steril dari film lokal untuk anak-anak.

Resensi "Brandal-Brandal Ciliwung"

Parabel Kebangsaan yang Dipaksaka

Pertanyaan yang muncul seusai menonton Brandal-brandal Ciliwung: ada apa dengan film anak-anak Indonesia belakangan ini? Kenapa kita harus membebani cerita anak-anak dengan wacana kebangsaan? Tak bisakah kita bercerita dunia anak-anak murni dari perspektif mereka saja?

Film anak-anak Indonesia dua tahun terakhir ini banyak sekali yang terasa seperti parabel kebangsaan. Brandal-brandal Ciliwung adalah bagian dari trend tersebut. Gagasannya: bangsa Indonesia itu beragam, dan solusi untuk semua masalah adalah dengan toleransi satu sama lain serta gotong royong untuk satu tujuan bersama. Kemasannya: protagonis tergabung dalam satu kelompok yang berisikan anak-anak berbeda etnis, sementara kelompok lain di luar mereka tak punya penanda kultural tertentu. Konflik cerita bisa datang dari internal kelompok yang beragam, bisa juga dari interaksi dengan kelompok lain yang generik itu.

Mira Lesmana: Produser Tidak Sama Dengan Cukong

Mira Lesmana: Produser Tidak Sama Dengan Cukong

Nama Mira Lesmana di perfilman Indonesia bisa dibilang melegenda. Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak muda yang terlibat dalam Kuldesak, film Indonesia pertama setelah perfilman nasional stagnan sejak awal 90an. Film omnibus dikerjakan secara gerilya oleh kru yang berjumlah sedikit. Selang beberapa tahun, Mira menelurkan dua film yang sukses menarik banyak orang ke bioskop: Petualangan Sherina dan Ada Apa dengan Cinta?.

Atambua 39C menandai kembalinya Mira Lesmana ke perfilman Indonesia, setelah absen tiga tahun pasca kesuksesan Sang Pemimpi. Berbeda dengan dua film Miles Films sebelumnya, Atambua 39C diproduksi dengan kru dan dana yang terhitung minim. Mira Lesmana bercerita bagaimana proses produksi film tersebut dan pengalaman dia sebagai produser di industri film Indonesia.

Resensi "Sanubari Jakarta"

Tidak Sampai Menyentuh Problem Identitas Seksual

Omnibus, lagi! Kali ini sepuluh film pendek dari sepuluh sutradara muda yang mengangkat tema spesifik: LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender).

Oh, kalau tak salah ingat, berarti ini film Indonesia pertama, yang lolos sensor LSF untuk dipertontonkan di muka publik, yang secara fokus dan terbuka mewacanakan isu sensitif yang selama ini cuma jadi bisik-bisik di pinggiran. Sebagai afirmasi keberadaan LGBT dalam sebuah melting pot bernama Jakarta, film ini lumayan berhasil. Terutama karena kepolosan penggarapan naskah dan penyutradaraannya.

Resensi "Negeri 5 Menara"

Perspektif Baru Mengenai Sukses

Cerita mengalir mengikuti Alif (Gazza Zubizareta). Setamat SMP di Padang ia terpaksa melanjutkan sekolah ke Pondok Madani, sebuah pesantren di Ponorogo, Jawa Timur, menuruti kehendak orangtuanya. Di tempat yang tidak disukainya itu ia kemudian bersahabat dengan lima teman dari lima daerah berbeda. Di situ pula mereka mengenal dan belajar menghayati ajaran man jadda wajada, yang artinya “Siapa bersungguh-sungguh, dia akan berhasil.”

Sayang, dalam film segalanya malah terkesan mudah dan biasa-biasa saja. Ajaran tersebut sepanjang film terus diulang-ulang secara verbal. Alif dan kawan-kawan digambarkan lebih sering ngobrol di kamar asrama dan kaki menara masjid ketimbang bekerja keras—bila perlu sampai melewati batas kemampuan diri—untuk mewujudkan keinginan masing-masing. Sesuatu yang justru bisa menjadi sumber konflik antarmereka. Pada Alif, misalnya, tidak terasa kesungguhannya melakukan sesuatu yang yang lebih dari teman-temannya agar bisa melanjutkan kuliah di ITB, Bandung. Ia bahkan lebih tampak sebagai pengeluh dan pemimpi.

Resensi "Cinta Suci Zahrana"

Cinta Zahrana Tak Sesuci Judul Filmnya

Sayang sekali Cinta Suci Zahrana memasang standar yang terlalu tinggi bagi dirinya sendiri. Ada kata “suci” di judulnya, sementara cerita filmnya tentang pencarian jodoh. Pak Munajat (Amoroso Katamsi) khawatir anaknya, Zahrana (Meyda Sefira), terlalu asyik mengejar karier akademis sampai-sampai lupa mengejar jodoh. Padahal, jantung Pak Munajat sudah tak lagi sehat, dan tak ada keinginannya sebelum meninggalkan dunia kecuali melihat anaknya naik pelaminan. Dihadapkan dengan fakta ini, Zahrana bersumpah untuk sesegera mungkin mencari pasangan. Tak perlu kaya, tak perlu juga orang terpandang, yang penting soleh.

Kesucian niat Zahrana sayangnya kandas di keputusan pembuat film merekrut Miller Khan untuk memerankan Hasan. Terlalu mudah bagi penonton untuk menebak bahwa Hasan yang akan menikahi Zahrana. Dia adalah laki-laki pertama yang muncul dalam film dan, dalam kesempatan itu, ia disajikan begitu “matang” di hadapan penonton. Dia muda, tahu tata krama, hidup berkecukupan, dan mengucapkan “Insya Allah” sebelum mengungkapkan harapan. Sejak awal film, dia sudah memenuhi daftar keinginan Zahrana.

Resensi 'Tanah Surga... katanya"

Cinta Juga Membutuhkan Alasan, Betapa pun Tidak Rasionalnya

Kehidupan penduduk Indonesia di perbatasan dengan Malaysia tiba-tiba menjadi isu sexy seiring munculnya berbagai ketegangan antara dua bangsa serumpun itu. Kita terlebih dahulu mesti berterima kasih kepada pembuat film ini, yang sudah mau bersusah-payah mengangkat persoalan pelik tersebut. Ini sungguh sumbangan tiada terkira guna memperkaya khazanah sosial-budaya perfilman Indonesia.

Film ini dibuat dengan semangat memotret tragedi nasionalisme di desa perbatasan Indonesia-Malaysia. Melalui cerita keluarga yang terbelah (ayah dan anak perempuannya pindah ke Malaysia untuk mencari kehidupan yang lebih baik, sedangkan anak laki-laki dan kakeknya yang bekas pejuang memilih tetap bertahan di tengah “hujan batu di negeri sendiri”), kita pelan-pelan diajak melihat berbagai ketertinggalan dan keterasingan masyarakat di sana terhadap negaranya sendiri. Jauh dari penggambaran Koes Plus dalam lagu Kolam Susu, yang penggalan liriknya (Orang bilang tanah kita tanah surga…) dijadikan judul.

Resensi "Perahu Kertas"

Dongeng Menarik dalam Bingkai Realita yang Membosankan

Keistimewaan apa yang masih bisa diharapkan dari film percintaan anak muda Indonesia? Terutama jika penulis dan sutradara jelas-jelas ingin setia pada realita sosial dan budaya masyarakatnya. Dee dan Hanung Bramantyo dalam film ini mencoba menjawab dengan kembali pada semangat dasar penciptaan film: membangun sebuah fiksi alias dongeng menarik dalam bingkai realita atau konteks yang membatasi bahkan mungkin membosankan.

Tersebutlah Kugy (Maudy Ayunda), gadis pendongeng yang sangat realistis. Situasi mempertemukannya dengan Keenan (Adipati Dolken), pemuda idealis yang sangat rapuh. Keduanya merasakan kesamaan souldan frekuensi, lalu diam-diam jatuh cinta, tapi sampai film bagian pertama ini selesai tidak saling mengetahui. Namanya anak muda, cinta yang tak kunjung terekspresikan itu membuat mereka limbung, patah hati, bahkan sampai merusak sebagian kehidupan mereka.

Resensi "Rumah di Seribu Ombak"

Perbedaan adalah Takdir yang Indah, Seharusnya

Satu lagi tawaran menarik di layar di bioskop, sebuah film mengenai keragaman budaya Indonesia. Kali ini dibuat oleh produser-sutradara dan mantan pemimpin redaksi majalah Playboy yang pernah dipidana dua tahun dalam kasus kesusilaan, setelah sebelumnya mendapat teror dari kelompok Islam garis keras. Dengan pengalaman traumatik seperti itu, Erwin Arnada di film pertama yang diangkat dari novelnya yang ditulis dalam tahanan ini terasa lebih ingin berbagi sesuatu ketimbang sekadar mengumbar eksotisme budaya kontemporer Bali, tempat tinggalnya selama beberapa tahun terakhir.

Menarik, karena di dalam "sesuatu" itu tidak sedikit pun terbaca kemarahan atau kebencian. Justru sebaliknya.

Resensi "Radio Galau FM"

Galau adalah Nama Lain untuk Klise

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “galau” berarti “ramai” dan “pikiran kacau tak keruan”. Definisi yang sama rasanya bisa dipakai untuk menjelaskan Radio Galau FM. Saking ramainya film itu, pikiran sampai kacau tak keruan dibuatnya.

Radio Galau FM dibuka dengan sebuah anekdot. Di sebuah kawasan perumahan warga kelas bawah, seorang kakek ditinggal pergi istrinya. Si kakek melihat ke kamera, freeze frame, kemudian terdengar narasi suara: “Dia galau”. Berarti “galau” yang dimaksud di sini adalah kesedihan berbasis patah hati karena ditinggal kekasih. Pembuat film pun menghadirkan cerita yang sejalan dengan pemaknaan tersebut: cinta segitiga antara Bara (Dimas Anggara), Velin (Natasha Rizki), dan Diandra (Alisia Rininta). Ketiganya satu SMA dan sama-sama menanggung banyak klise film drama romantis.

Resensi "Test Pack: You Are My Baby"

Kita Masih Manusia yang Sama

Pendidikan Barat, gaya hidup kosmopolit, dan pelbagai “rekayasa” peradaban modern lainnya ternyata tidak selalu berhasil menghancurkan sendi-sendi budaya sebuah bangsa. Termasuk, sebagaimana tersaji di film ini, dalam konsep pernikahan dan keluarga.

Konon generasi baru Indonesia yang lebih modern dan urban mempunyai paradigma progresif yang tidak lagi memandang pernikahan semata untuk tujuan beranak-pinak. Keluarga juga tidak mesti selalu lengkap dan fungsional: ayah, ibu, dan (sepasang) anak. “Apa adanya kamu sudah melengkapi saya,” dengan gagah Rahmat (Reza Rahadian) berikrar di hadapan Tata (Acha Septriasa) pada akad nikah mereka. Tujuh tahun pernikahan psikolog dan praktisi periklanan itu berjalan tanpa masalah, kecuali tekanan sosial untuk segera mempunyai anak.

Tapi benarkah tanpa masalah?

Resensi "Mama Cake"

Era Film sebagai Media Sudah Berakhir

Setiap film memantulkan gagasan pembuatnya, sedangkal dan sesamar apapun. Film yang bisa dikategorikan road movie ini seperti hendak mengingatkan segala sesuatu tidak terjadi tanpa ujung-pangkal. Di baliknya selalu ada tujuan dan makna yang bisa jadi pembelajaran.

Perjalanan Raka (Ananda Omesh) bersama dua sahabatnya, Willy (Boy William) dan Rio (Arie Dagienkz), membeli brownies Mama Cake ke Bandung untuk memenuhi permintaan terakhir neneknya (Nani Widjaja) belakangan diketahui sebagai amanah untuk menyatukan kembali keluarga Raka. Sebab, pemilik Mama Cake ternyata ibu yang sudah berpisah dengan ayah Raka. Perjalanan yang penuh kekacauan itu juga memberi hikmah bagi Raka: menemukan "jodoh" yang ideal, Mawar (Dinda Kanyadewi), sekaligus kekuatan untuk menjadi cowok mandiri. Begitu pula Willy dan Rio.

Resensi "Rayya, Cahaya Di Atas Cahaya"

Perjalanan Metaforik Memahami Dendam

Sebuah road movie—perjalanan dari satu tempat ke tempat lain—mudah tergelincir menjadi film yang kosong. Kekuatannya sangat tergantung pada makna perjalanan tersebut. Bagaimana dalam ruang yang sebagian itu-itu saja dan sebagian lagi terus bergonta-ganti, lapis demi lapis persoalan karakter-karakternya terkupas, setapak demi setapak interaksi (dengan teman dan segala hal yang ditemui) selama perjalanan menguak perspektif baru, dan sedikit demi sedikit kesadaran baru menyelinap menumbuhkan pencerahan. Tanpa itu kita tinggal berharap masih tersaji petualangan visual yang sama sekali baru sekadar buat menghibur mata.

Setelah 22 tahun lalu Garin Nugroho mengejutkan perfilman Indonesia dengan Cinta dalam Sepotong Roti (1990), Viva Westi—kecemplung ke dunia film sebagai pemain dalam film kedua Garin, Surat untuk Bidadari (1992), dan menjadi sutradara pertama kali bersama Garin dalam Serambi (2005)—memperkaya khazanah road movie lokal dengan karya yang bisa dibilang setara dengan "guru"-nya.

Resensi"Fallin’ in Love"

Lagi-lagi Film yang Dibuat Seadanya

Tantangan utama yang kerap dihadapi para pembuat film kita adalah eksplorasi cerita. Terlebih apabila tema yang dipilih sudah sangat umum, seperti romantika masa remaja. Jika eksplorasi ini gagal digarap secara baik, kesan yang muncul adalah tema tersebut sudah usang dan aus. Titik masalahnya tentu bukan akibat tema cerita tersebut sudah terlalu sering diangkat ke medium film, tapi lebih karena kreativitas pembuat film yang mampat. Fallin’ in Love adalah contoh sempurna dari kasus ini.

Sesuai judulnya, kondisi jatuh cinta dialami tiga tokoh utamanya. Perasaan mereka pun saling berkelindan. Mulanya Larasati (Mikha Tambayong) yang duluan jatuh cinta pada Rado (Adly Fayruz), atlet softball di sekolahnya. Gayung pun bersambut. Rado serta-merta jatuh cinta balik pada Larasati. Namun berkat antagonisme yang dibebankan kepada Nita (Agesh Palmer), mantan kekasih Rado, kisah romantis mereka hanya berlangsung seumur jagung. Demi meredakan rasa sakit hati, Larasati lalu menyepi ke rumah neneknya di kawasan pedesaan pinggir kota Bandung.

Resensi "Perahu Kertas 2"

Turuti Ke Mana Hatimu Berlabuh

Film ini bukanlah sekuel dalam pengertian yang lazim, di mana masing-masing bagian mempunyai gagasan dan kesatuan cerita sendiri. Ini sebuah cerita panjang yang dibelah menjadi dua bagian dengan pertimbangan masa tayang dan tentu saja kalkulasi komersial.

Artinya, film bagian kedua ini sekadar kelanjutan bagian sebelumnya, sehingga sulit dinikmati dan dinilai terpisah. Banyak informasi kunci dan penanda-penanda lain yang merupakan logika cerita telah terpapar di bagian pertama. Tanpa bekal itu kejadian-kejadian penting, bahkan pivot point cerita, akan terlihat mengada-ada. Jadi anggaplah skor untuk keseluruhan film ini adalah skor rata-rata Perahu Kertas dan Perahu Kertas 2.

Setelah tiga tahun relatif berhasil membangun karier serta menemukan pasangan yang tampaknya ideal, Kugy (Maudy Ayunda) dan Keenan (Adipati Dolken) bertemu kembali dalam pesta pernikahan sahabat mereka. Seperti dalam pertemuan awal, dengan cepat kesamaan jiwa dan frekuensi mempertautkan kembali keduanya. Tapi CLBK (bukan “cinta lama bersemi kembali”, melainkan “cinta lama belum kesampaian”) itu bisa disetop sebelum menimbulkan komplikasi. Mereka pun memperbarui komitmen dengan pacar masing-masing, Remi (Reza Rahadian) dan Luhde (Elyzia Mulachela).

Resensi "Sang Martir"

Hampir semua yang kita baca-dengar plus sedikit saja imajinasi ada dalam film Sang Martir: Sang Martir: Lancar, Masuk Akal, tapi Dangkal

Kekerasan, cinta beda agama, rohaniwan yang dianggap abai, ketimpangan sosial, pengemis paksaan, perdagangan narkoba, sindiran korupsi, sedikit dialog dan petuah dangkal teologi, rebutan tanah, dan tentu saja bom bunuh diri. Niat lain: meluruskan pandangan dan laku beragama.

Preman besar brangasan, Rambo (Tio Pakusadewo) penguasa wilayah konflik dengan preman besar lain, Jerry (Ray Sahetapy), yang berbulu domba dan juga penguasa wilayah plus pengedar narkoba (masing-masing dengan sejumlah anak buah yang sangar-sangar). Tokoh-tokoh ini dengan mudah mengingatkan pada yang kita baca-dengar dari media publik.

Resensi "Loe Gue End"

Banyak Makna, Tapi Tak Tahu Mau Ke Mana

Awi Suryadi seperti kebingungan menentukan identitas film panjang terbarunya. Sepanjang 75 menit, Lo Gue End bermetamorfosa dari adaptasi biografi singkat seorang novelis, drama anak muda urban, film horor-fantasi, ke kisah moral tentang bahaya narkotika. Dalam sejumlah kasus, banyak makna adalah tanda dari kedalaman cerita. Dalam kasus Lo Gue End, banyak makna adalah konsekuensi dari ketidakjelasan keinginan pembuat film.

Banyak mata rantai yang putus antara kemasan dan gagasan film. Pembuat film mendesain Lo Gue End sebagai kisah berbingkai. Cerita Zara Zettira (diperankan oleh Amanda Soekasah) menjadi bingkai, sementara cerita Alana (Nadine Alexandra) menjadi isinya. Perkembangan film pun terpantik lewat perjalanan bolak-balik antara kedua cerita. Ide yang cemerlang sebetulnya, kalau saja kedua cerita saling membangun.

Resensi "Atambua 39o C"

Melihat Kembali Sejarah Bangsa Lewat Atambua

Secara tegas Atambua 39o C memperkenalkan dirinya sebagai sebuah pernyataan politik. Di awal film yang disutradarai Riri Riza ini tertulis: “Atambua, 13 tahun setelah referendum.” Ini bukan potret sebuah kota eksotis yang dikunjungi sekelompok turis berkedok pembuat film. Ini adalah bentuk refleksi sejarah bangsa.

Pendirian pembuat film disuarakan oleh Ronaldo (Petrus Beyleto), 47 tahun, mantan pejuang milisi pro-integrasi yang kini bekerja sebagai supir bus antarkota. Anehnya, sepanjang film, penonton lebih sering mendapati beliau mabuk-mabukan, pulang larut malam dalam keadaan teler, muntah, lalu tidur sampai malam lagi. Kenapa? Usut punya usut, beliau tercekik oleh kekecewaan masa lampau. “Timor Leste hanya akan bisa berkembang kalau bergabung dengan Indonesia,” tukasnya dalam sebuah sesi peminuman, sebuah pendapat yang tak disetujui teman minumnya. Terjadilah pertengkaran dan Ronaldo masuk penjara.


Resensi : "Jakarta Hati"

Jakarta Telah Merenggut Hati Mereka

Dengan dua film (sebelumnya Jakarta Maghrib, 2010), penulis-sutradara Salman Aristo meneguhkan diri sebagai author yang terobsesi pada tragedi manusia di tingkat individu. Menariknya lagi ia sengaja memilih Jakarta, megapolitan yang "sakit" hingga menyimpan banyak tragedi sekaligus ironi, sebagai obyek.

Film ini, sebagaimana film pertamanya, berbentuk omnibus enam cerita yang tidak saling terkait. Ada lelaki dewasa (Surya Saputra) dan perempuan muda (Asmirandah) yang sama-sama dikhianati pasangannya, ada anggota DPR Marzuni (Slamet Rahardjo) yang terjebak dalam realita keseharian kota tempat tinggalnya, ada polisi muda Bana (Andhika Pratama) dan ayahnya (Roy Marten) yang diduga melakukan penipuan. Selain itu ada penulis skenario Firman (Dwi Sasono) yang terbelit persoalan ekonomi, juga sepasang suami istri (Dion Wiyoko dan Agni Pratistha) yang mulai menyadari pernikahannya sudah "berakhir", dan terakhir janda muslim (Fatimah, diperankan oleh Shahnaz Haque) yang bimbang dengan ketulusan cinta seorang pemuda keturunan Tionghoa (Framly Nainggolan).

Resensi "Hello Goodbye:

Drama Cinta yang Jauh dari Romantis

Abimanyu (Rio Dewanto), ABK alias anak buah kapal berbendera Singapura, terkena serangan jantung dan diturunkan di Busan, Korea Selatan. Indah (Atiqah Hasiholan), staf konsulat jenderal RI di Busan, ditugaskan mengurusnya sampai sembuh dan dipulangkan ke Indonesia. Sialnya, meskipun sama-sama sedang merasa sangat bosan, mereka jenis manusia yang berbeda, bahkan bertolak belakang.

Resensi "5 cm"

5 cm yang Terlampau Jauh

Mana yang lebih terjal: persahabatan, kecintaan pada negeri sendiri, atau jalur pendakian Semeru? 5 cm seperti kebingungan memilah ketiganya. Adaptasi novel laris Donny Dhirgantoro ini terasa terpotong-potong, tanpa ada bangunan cerita yang berkesinambungan. Alhasil, 5 cm baru sebatas baik sebagai tontonan, sebagai kumpulan gambar yang indah dan mengharukan.

Agres Setiawan: Sepucuk ilmu, Langkah Praktis coba tau dan coba buat skenatio film

Kendala bagi seorang penulis scenario


Kendala bagi seorang penulis scenario yang baru mencoba dan ingin mencoba mulai :
Mengapa sulit untuk menyelesaikan sekenario tersebut sampai usai ???
Mengapa ketika saya mencoba menulis saya tidak tahu harus memulai dengan apa dan berakhir dengan bagai mana ??
Oleh karena itu work shop kali ini dibuat untuk mencoba memberi jawaban atau penyelesaian terhadap kedua kendala yang umum terjadi tersebut.
Sederhananya, kendala diatas adalah akibatdari :
1. kurangnya pemaham akan pengertian skenario itu sendiri
2.. pentingnya bagi kita untuk memahami terlebih dahulu prosedur kerja yang benar dan bertahap didalam penulisan scenario film sebelum memulai menulisnya.
Mari kita jawab bersama :
1. Apa itu skenario ??
Pengertian skenario adalah